Senin, 21 Desember 2009

Michael Riady: Lippo Bangun Gedung Tertinggi dan Mal Terluas di Indonesia






Michael Riady: Lippo Bangun Gedung Tertinggi dan Mal Terluas di Indonesia

Michael Riady (29), cucu taipan Mochtar Riady, terjun ke bisnis properti dan bertanggung jawab atas megaproyek superblok St Moritz, Puri Kembangan, Jakarta Barat. Michael yang saat ini CEO St Moritz, sebelumnya pernah "berkeliling" bekerja di berbagai proyek properti Lippo, mulai dari Metropolis Town Square dan WTC Matahari Serpong di Tangerang, Cibubur Junction di Jakarta Timur, Bandung Indah Plaza di Bandung, Kemang Village di Jakarta Selatan, dan sekarang St Moritz di Jakarta Barat.

Michael seakan tak pernah berhenti belajar mendalami properti di perusahaan yang didirikan kakeknya, Mochtar Riady. "Yang membuat seorang pemimpin berbeda dengan orang biasa adalah pemimpin selalu belajar dengan keras. Pemimpin tidak pernah berhenti belajar. Contohnya Michael Jordan. Setiap hari tetap bermain basket. Sudah jago pun tetap main basket," kata Michael memberi analogi.

Lahir di Jakarta, September 1980, Michael mengenyam pendidikan TK dan SD reguler di Singapura, SMP Jakarta International School (JIS) di Kelapa Gading Jakarta. Sempat mengenyam pendidikan SMA Pelita Harapan kelas I, Michael pindah kuliah ke Los Angeles, Amerika Serikat. Dia mengambil jurusan keuangan di California State University, dan sempat bekerja di AIG dan lembaga sekuritas, lalu pindah ke law firm, khusus bidang hukum properti. Akhir tahun 2003, Michael kembali ke Indonesia, dan langsung bergabung dengan PT Lippo Karawaci Tbk sampai saat ini.

Berikut ini petikan wawancara khusus Robert Adhi Ksp dari Kompas.com dengan CEO St Moritz Michael Riady di kantornya di Puri Kembangan, Jakarta Barat, Kamis (10/12/09) sore.

Generasi ketiga keluarga Riady mulai memegang perusahaan properti. Apakah Anda dipersiapkan menjalankan roda bisnis bidang properti di Grup Lippo?
Saya kira yang lebih penting adalah kami semua diberi kesempatan, mau pilih bidang mana sesuai talenta yang ada. Jadi kami tidak pernah dibilang harus masuk ke sana atau ke sini. Kami diberi kesempatan dan diarahkan. Kami sendiri yang memutuskan akan bekerja di bidang mana. Saya senang di properti. Ada saudara saya di media, ada di rumah sakit. Panggilan dan talenta kami berbeda-beda. Nah di St Moritz, mereka menyebut saya sebagai CEO. Saya terima dengan segala tanggung jawabnya yang sangat besar. Saya bekerja bersama tim untuk mensukseskan proyek St Moritz ini.

Mengapa Lippo memilih lokasi di Jakarta Barat?

Lokasi St Moritz berada di CBD Jakarta Barat yang dekat dengan Bandara Internasional Soekarno-Hatta, mudah diakses lewat jalan tol, dan berada di persimpangan JORR, jalan tol lingkar luar. Dekat dengan bandara sangat penting karena saat ini berpergian dengan pesawat sudah kebutuhan. Tiket pesawat makin murah dan orang makin sering travelling. Lokasi St Moritz di persimpangan JORR ini sangat strategis. Kita bisa bandingkan dengan negara yang sering dilalui seperti Singapura, kecil tapi makmur. Di sini, St Moritz unggul dengan proyek properti di lokasi lain. Kami berada di kawasan sentra primer atau CBD Jakarta Barat seluas 135 hektar. Jadi nilainya sudah berbeda. Pemerintah Jakarta ingin membangun CBD baru, seperti di Shanghai dan Singapura. Di Singapura, CBD yang semula di downtown, bergeser ke Marina Bay. Di Jakarta, CBD dari Semanggi pindah ke TB Simatupang. Jadi trennya sudah kelihatan. Masalahnya hanya waktu. Dan Lippo mendapatkan keuntungan dari pertumbuhan dan tren ini, termasuk rencana pembangunan jembatan Selat Sunda yang menghubungkan Sumatera dengan Jawa. Semua kendaraan yang masuk Jakarta, akan melalui Jakarta Barat. Di masa depan, lokasi ini sangat strategis. Selain itu daya beli relatif baik dan lifestyle cukup terbuka.

Seperti apa wajah St Moritz kelak?

Lokasi ini sudah dipersiapkan lebih dari 10 tahun. Tapi yang perlu diingat adalah pembangunan properti menunggu waktu yang tepat. Ibaratnya kita membeli buah, jika membeli hari ini, belum tentu buahnya matang, tetapi ada pula buah yang langsung matang. Jadi ini masalah waktu. Lahan di Jakarta Barat ini sudah kami beli sudah cukup lama. Tapi karena belum matang, tanah ini kami simpan dulu sebagai bank tanah. Ini merupakan strategi properti. Persiapan St Moritz sudah dimulai tahun 2006, tapi untuk melakukan launching Agustus 2008, kami butuh waktu 2,5 tahun. St Moritz akan dibangun di lahan seluas 12 hektar. Konsepnya global city, kota yang lengkap dengan sekolah, mal, rumah sakit, hotel, tempat konvensi dan fasilitasnya, semuanya sebelas jenis. Kami sebut 11 in 1. Kami membangun kota berstandar global. Ini patokan kami. Semua yang dibangun harus berkualitas baik dan berstandar internasional. Benchmark kami adalah Singapura, Hongkong, New York, Tokyo. Cosmopolitan living, global city yang nyaman. Kami mengacu pada Lippo Village. Bedanya Lippo Village dibangun horisontal, St Moritz dibangun vertikal karena keterbatasan lahan.

Di St Moritz akan dibangun gedung perkantoran tertinggi dan mal terbesar di Indonesia. Bisa dijelaskan?
Benar sekali. Kami akan membangun gedung perkantoran tertinggi di Indonesia dengan 65 lantai. Kami belum memberi nama gedung ini, tapi akan menjadi semacam International Financial Center di Hongkong. Tentu saja gedung ini memperhatikan segala aspek, termasuk ketahanan gempa. Selain itu kami juga akan membangun mal terbesar dan terluas di Indonesia dengan luas 450.000 meter persegi. Kami akan membangun mal yang mengelilingi delapan menara apartemen, dalam empat tahap. Di St Moritz juga akan dibangun gedung kovensi seluas 6.000 meter persegi, setara dengan Jakarta Convention Center. Juga akan dibangun Sea World seperti di Ancol, seluas 4.000 meter persegi. Ada sebelas fasilitas yang dibangun di satu tempat.

Siapa target penghuni apartemen St Moritz?
Kami akan membangun delapan menara apartemen di St Moritz, Puri Kembangan, dengan 2.500 unit kamar. Kami perkirakan ada 6.000 orang penghuni apartemen di sini.
Target kami adalah orang-orang lokal yang tinggal di Jakarta Barat sebagai pembeli utama. Memang ada orang Tangerang yang membeli unit apartemen, tapi sebagian besar penduduk Jakarta Barat. Mereka adalah end-user. Sejak Agustus 2008, kami sudah me-launching tiga menara dengan 494 unit, dan sudah terjual 80 persen. Serah terima tiga menara dilakukan Oktober 2011. Ukuran unit kamar apartemen mulai 82 meter persegi sampai 269 meter persegi. Targetnya, mereka yang baru lulus kuliah, keluarga baru, sampai mereka yang sudah lanjut usia. Ketiga menara apartemen ini berbeda segmen. Tapi tujuan kami bukan cuma sekadar menjual. Hari ini bangun, besok bye bye. Lippo tidak begitu. Kami tetap me-maintenannce penghuni dengan berbagai fasilitas yang lengkap.

Anda yakin St Moritz bakal sukses?
Banyak orang membangun properti di Jakarta Selatan dan Jakarta Pusat. Tapi menurut saya, lebih enak jualan apartemen di Jakarta Barat. Kami belum punya saingan sehingga otomatis lebih gampang. Selain itu, pembeli properti adalah orang-orang lokal. Artinya, mereka yang sudah tinggal di Jakarta Barat, melakukan berbagai kegiatan dan memiliki keluarga di Jakarta Barat, belum tentu mau bila disuruh pindah ke Jakarta Timur dan wilayah lainnya. Ini bukan masalah duit. Sebetulnya selama 25 tahun terakhir ini, permintaan apartemen ada tapi suplainya tak ada. Ketika St Moritz hadir, kami tak ada saingan. Dan jangan lupa, jantung Jakarta Barat ada di sini. Kantor Wali Kota Jakbar juga ada di sini. Membangun properti harus ada semutnya dan di Jakarta Barat, semutnya sudah gemuk. Jadi saya bersyukur berinvestasi di Jakarta Barat. Justru di sini good market. Pembeli sekarang sudah pintar. Mereka menganalisis dulu lokasi dan kualitas produk sebelum membeli. Lihat konsep pengembang seperti apa. Baru melihat siapa yang membangun. St Moritz ada di kawasan CBD. Orang yang suka dengan suasana Singapura, cocok tinggal di kawasan ini. Pengunjung mal PX saja tidak keberatan memarkir mobil di lahan outdoor, dan kemudian berjalan kaki menuju mal. Suasana begini akan mengurangi orang naik mobil karena desain bagus, sudah diblok, tinggal jalan kaki.

Langkah apa yang dilakukan Lippo untuk mengurangi banjir di kawasan ini?

Sesuai dengan konsep Lippo Village, kami juga memikirkan masalah air kotor, air bersih, dan banjir. Konsep pengelolaan air itu diterapkan juga di Kemang Village dan St Moritz. Seebenarnya syarat ini tidak diminta pemerintah, tapi Lippo menambahkan sendiri karena menganggap ini penting untuk jangka panjang dan supaya tidak terjadi genangan dan banjir. Lippo coba melebihi standar. Kami mencoba seefisien dalam pengelolaan air.

Anda merencanakan melakukan inovasi teknologi baru di St Moritz. Bisa dijelaskan?

Saat ini kami sedang membahas rencana inovasi teknologi baru dengan perusahaan Amerika Serikat yang bergerak di bidang Teknologi Informasi. Nanti semua penggunaan listrik disentralisasi, dipusatkan, sehingga penggunaannya akan sangat efisien. Penggunaan AC disesuaikan dengan cuaca di luar. Penggunaan lampu juga secara otomatis. Ada sensor, jika tak ada orang di ruangan, lampu bisa mati sendiri. Kami percaya bahwa inovasi yang membuat kami sebagai leader, bukan harga. Inovasi yang membuat dunia makin maju. Karena itu kami akan melakukan investasi dalam inovasi bidang TI. Supaya orang tidak hanya beli apartmen, tetapi juga menikmati gaya hidup. Kelak penghuni apartemen dapat mengontrol listrik melalui remote, gadget. Ini langkah inovasi. Dan Lippo adalah pengembang pertama yang memperkenalkan teknologi baru ini. (Robert Adhi Ksp)

Ardi Joanda: Belajar dari Keuletan Ibunda (1)












Ardi Joanda: Belajar dari Keuletan Ibunda (1)

Bagaimana tren furnitur high-end tahun 2010? "Tren furnitur rumah-rumah kelas atas akan kembali ke tren tradisional klasik yang lebih ringan, yang sering kali disebut sebagai american classic. Tren warna furnitur tetap pada warna hitam, putih, dan warna kayu. Sedangkan tren warna material, kombinasi warna metal stainless dan warna silver," kata Ardi Joanda, President Medici Living, perusahaan furnitur high-end dalam percakapan dengan Kompas.com di sebuah restoran di Permata Hijau, Sabtu (5/12) lalu.


Menurut Ardi, informasi mengenai produk interior yang tersebar di dunia maya dan di berbagai media massa cetak, membuat pengetahuan pemilik rumah semakin maju. Selain itu, makin banyak orang Indonesia yang berkunjung ke rumah-rumah indah di luar negeri dan dalam negeri sehingga pengetahuan tentang rumah pun makin luas.

"Saat ini dan di masa mendatang, peran desain interior dan arsitek akan semakin penting dalam menangani rumah-rumah kelas menengah atas. Untuk itulah furnitur juga penting mengikuti tren. Kami bukan lagi sekadar toko furnitur, tapi kami ingin bersama-sama arsitek dan desainer interior, ingin mewujudkan rumah idaman mereka. Ini sesuai slogan kami Live Your Life Best," ungkap Ardi Joanda, yang sebelumnya pernah bekerja di Da Vinci.

Setelah 13 tahun bergabung dengan Da Vinci, dan terakhir pada posisi sabagai CEO Da Vinci, Ardi memutuskan keluar dengan alasan pribadi. "Saya ingin pindah kuadran, menjadi pengusaha," katanya. Bulan Januari 2006, Ardi merintis usaha es
Charmy Ice bersama Lawrence Pan, saudara angkatnya dari Taiwan.

Akhir tahun 2007, Ardi menerima telepon dari pemasok furnitur dari Amerika Serikat. "Mereka mempercayakan saya untuk memasarkan produk-produk mereka. Tahun 2008, Medici Living, perusahaan baru furnitur
high-end didirikan. Nama Medici menentukan filosofi perusahaan karena keluarga Medici adalah patron dari berbagai bidang aspek kemanusiaan, politik, seni, agama, arsitek," ungkapnya.

Tahun 2008, Medici Living membuka ruang pamer di Belezza, Permata Hijau, Jakarta Selatan, dan diresmikan oleh perwakilan dari Kedutaan Besar Amerika Serikat di Indonesia. Medici memang mengkhususkan diri memasarkan produk-produk Amerika. Klien Medici pada umumnya keluarga kalangan atas, yang mengetahui produk ini dari mulut ke mulut.



Belajar dari keuletan ibunda
Siapa Ardi Joanda, pengusaha furnitur papan atas ini? Lahir di Pontianak, Kalimantan Barat, 15 Januari 1970, Ardi besar dari keluarga sederhana. Ibunya, Lucy Jo, seorang perempuan yang ulet, yang membuat es krim untuk dijual ke sekolah-sekolah. Es krim itu dititip di kantin-kantin sekolah.


Setelah itu, ibu Ardi beralih ke usaha konveksi pakaian anak kecil, sedangkan ayahnya, Paulus Sun, bekerja di bagian pembukuan di sebuah perusahaan. Bersama kakaknya, Antonius Yondi, Ardi mengantarkan barang konveksi pesanan ke toko-toko di Pontianak. Mereka berdua mengendarai sepeda, membawa bundelan besar berisi pakaian untuk diantar ke toko-toko. Ardi dan Yondi membantu ibunya yang membuka toko di sebuah pasar di Jalan Sudirman, Pontianak. Sebelum berangkat sekolah, Ardi menjaga toko sambil belajar mengerjakan PR. "Ketika saya masuk sekolah, koko yang mengganti jaga toko," urai Ardi.


"Saya belajar banyak dari mami yang memang lahir dari keluarga pedagang, bagaimana berdagang dengan ulet. Pernah suatu hari, kami tak boleh lagi berjualan es di sekolah, padahal es yang dibuat mami sangat laris. Tapi mami tidak putus asa. Pengalaman pahit dalam kehidupan sebelumnya, ternyata menjadi cambuk yang membentuk motivasi. memberikan booster untuk berhasil dalam usaha. Kondisi seperti ini melatih kami sekeluarga untuk bisa berdikari dan mandiri. Justru dengan berbagai kendala, kami mendapatkan pelajaran yang bermakna," cerita Ardi Joanda.

Menurut Ardi, hidup ini memang unik. "Setiap orang terlahir dengan rezeki dan nasib berbeda. Ada orang yang terlahir dari keluarga kaya, dan ada yang lahir dalam kondisi keluarga yang miskin. Tapi itu semua bukan berarti menjadi penentu masa depan. Ibarat memancing, ada orang rezekinya cukup lempar dua kali, langsung dapat ikan. Tapi ada yang harus lempar lima kali atau 10 kali, baru dapat ikan. Kita harus menyadari kapasitas yang kita miliki. Dan kita bekerja berdasarkan kapasitas yang dimiliki. Kalau ternyata baru 10 kali berusaha, kita baru dapat satu, itu artinya kita harus bekerja lebih keras," ungkap anak kedua dari tiga bersaudara itu.


Ardi bersyukur karena kedua orangtuanya memiliki prinsip, anak-anak harus mengenyam pendidikan tinggi demi masa depan yang lebih baik. Untuk itulah kedua orangtua Ardi rela membanting tulang agar Ardi dan dua saudaranya dapat melanjutkan pendidikan tinggi.


Sejak duduk di SD Gembala Baik dan SMP Bruder di Pontianak, Ardi selalu menjadi murid terbaik. "Setelah lulus SMP, mami ingin saya melanjutkan SMA di Jakarta. Mami men-support saya agar bisa sekolah setinggi mungkin. Saya merasa orang yang penuh berkah. Ketika dalam kondisi kekurangan, Tuhan membantu melalui orang lain. Ketika masuk SMA St Yoseph Dwiwarna, Manggabesar, Jakarta Barat, dengan segala keterbatasan biaya, ada yang memberi dukungan kepada saya," katanya.

Ardi pindah ke Jakarta karena melihat banyak temannya melanjutkan SMA di Jakarta. Walaupun belum tahu akan tinggal di mana dan bersekolah di mana, ibunda Ardi memberi dukungan yang kuat kepada anaknya.

"Akhirnya berkat bantuan mami, saya dapat sekolah di SMA St Yoseph. Ternyata saya generasi pertama karena sekolah itu baru dibuka. Kepala sekolah Lanny Arifin, Kepala SMA ini sangat demokratis, yang memberi kesempatan kepada para siswa membuat kreativitas. Suami kepala sekolah itu pedagang dan pengusaha. Bu Lanny berbeda dalam menerapkan pendidikan. Sebagian besar ide kegiatan berasal murid. Kami sangat akrab satu sama lain, dan tak ada kesenjangan," tuturnya.

Ardi mengaku sangat terkesan pada Kepala SMA Lanny Arifin. "Saya ditunjuk sebagai Ketua Panitia St Yoseph Cup, pertandingan olahraga yang diikuti 13 sekolah katolik di Jakarta. Padahal SMA St Yoseph Dwiwarna itu baru dua tahun berdiri," ungkapnya.


Di Jakarta, pada tahun pertama, Ardi tinggal bersama saudara jauh di Tanah Abang, tapi kemudian dia kos di Jalan Pangeran Jayakarta. Pada tahun kedua, Ardi diminta tinggal di rumah teman satu sekolah. "Orangtuanya meminta saya untuk menemani anaknya sekaligus mengajarinya. Saya tinggal di sana gratis. Saya merasa menjadi orang yang diberkahi. Dan tinggal di rumah orang, saya tahu diri. Saya harus ringan-tangan, membantu pekerjaan rumah. Saya makin memahami kehidupan sebenarnya," kata Ardi.
(ROBERT ADHI KSP)

KOMPAS.com, Senin 7 Desember 2009

Foto-foto hak cipta Robert Adhi Ksp

Ardi Joanda: Biaya Kuliah Tinggi, Nekad Tulis Surat ke Ali Alatas (2)


Ardi Joanda: Biaya Kuliah Tinggi, Nekad Tulis Surat ke Ali Alatas (2)

Lulus SMA tahun 1989, Ardi Joanda berangkat ke Selandia Baru. "Pikiran saya sederhana saja. Saya kuliah di luar negeri karena ingin menjadi lebih baik. Pikiran waktu itu, kalau pulang dari luar negeri, saya akan lebih mudah cari kerja. Tapi persoalannya, dana pas-pasan. Ada yang menyarankan saya mendaftarkan diri ke Australia, tetapi melihat biayanya yang terlalu mahal, akhirnya saya mencoba ke Selandia Baru. Mami mendukung saya. Tapi kuliah di luar negeri sepertinya merupakan ide gila karena secara finansial, keuangan keluarga kami tak mungkin dapat membiayai kuliah saya," cerita Ardi lagi.

Di Selandia Baru, biaya sekolah masih relatif murah. "Saya belajar sambil bekerja. Saya memberanikan diri karena saya berpendapat, kalau saya mau bekerja, pasti dapat menghidupi diri sendiri," katanya. Ardi kemudian melanjutkan pendidikan setara SMA yaitu Selwyn College di Auckland.

Saat akan lulus, Ardi dan siswa lainnya terkejut dengan rencana Pemerintah Selandia Baru menaikkan uang sekolah, dari sebelumnya 1.000 dollar Selandia Baru setahun menjadi 5.000 - 10.000 dollar Selandia Baru setahun. "Kami betul-betul
shock. Akhirnya bersama siswa Malaysia dan Singapura, siswa Indonesia melakukan perlawanan agar uang sekolah tidak naik," katanya.


Tulis Surat ke Menlu Ali Alatas

Ardi Joanda menulis surat ke Menteri Luar Negeri Ali Alatas, yang isinya menceritakan keadaan perubahan uang kuliah di Selandia Baru. "Teman Malaysia juga menulis surat yang sama. Pak Ali Alatas menyempatkan diri untuk datang ke Selandia Baru. Melalui cara ini, akhirnya Pemerintah Selandia Baru mengubah kebijakannya. Mereka memberi kesempatan kepada siswa mancanegara untuk mendapatkan beasiswa jika memenuhi persyaratan. Setelah pengumuman ini, saya belajar siang-malam sehingga lulus dengan nilai A. Saya akhirnya mendapat beasiswa di bidang ekonomi, Commerce and Administration di Victoria University of Wellington selaam lima tahun. Tapi saya menyelesaikannya hanya dalam waktu tiga tahun," cerita Ardi.


Sebenarnya, kata Ardi, keluarga Belanda, Thomas Beuker yang menjadi keluarga angkatnya di Auckland, sudah mengatakan kepadanya agar tidak perlu khawatir. Jika misalnya Ardi tidak mendapatkan beasiswa, keluarga Thomas yang akan mencari cara agar Ardi tetap bisa melanjutkan pendidikan. Demikian pula keluarga angkatnya dari Taiwan, keluarga Pan, menjamin Ardi secara finansial, agar dapat menyelesaikan pendidikan tingginya di Selandia Baru.

"Saya percaya bahwa hidup saya penuh berkah. Kalau kita berbuat baik, pasti hidup kita penuh berkah. Ketika menghadapi masalah, saya selalu bisa mengatasi problem. Walaupun ada dua keluarga angkat yang memberi jaminan finansial, pada akhirnya saya mengandalkan diri sendiri untuk mendapatkan beasiswa agar bisa kuliah," papar Ardi.

Ardi Joanda menegaskan kembali bahwa berbagai pengalaman pahit memberi kesempatan baginya untuk menunjukkan kemampuan. "Berbagai kejadian yang tidak diharapkan dan tidak menyenangkan, malah memberi saya kesempatan untuk menunjukkan kemampuan sesungguhnya," tandasnya.

Otodidak di Bidang Furnitur
Thn 1993, ketika pulang ke Indonesia, Ardi Joanda langsung bergabung dengan grup Da Vinci. Awalnya Ardi diminta merapikan administrasi perusahaan Fissler, perusahaan
multilevel. Setelah ada perusahaan kosmetik yang baru dibuka, Ardi diminta terlibat membantu marketing support. Dan cukup berhasil. Saat Da Vinci dibuka tahun 1994, Ardi bergabung sejak dari nol, sejak nebeng dengan Fissler. "Saya tidak hitung-hitungan. Saya menunjukkan talenta saat diberi kesempatan. Kalau itu baik, let's do it. Di Da Vinci, saya belajar otodidak selama 13 tahun," jelasnya.

Perkenalannya dengan urusan desain interior ini sebetulnya sejak dia membantu ayah angkatnya, Thomas Beuker, arsitek dan kontraktor Belanda yang tinggal di Aukland, Selandia Baru. Di sana Ardi menyempatkan untuk belajar mengecat dan memasang wallpaper. "Pengalaman ini ternyata ada gunanya untuk masa depan saya. Makanya kita tidak boleh hitung-hitungan. Potensi harus digali sedalam mungkin tanpa harus hitung-hitungan," katanya.

Ardi bercerita ketika membangun Da Vinci Tower di Jakarta, dia juga belajar bagaimana mengelola pembangunan gedung klasik, yang detil dengan skala besar, tanpa kontraktor utama. "Orang pikir saya insinyur. Saya pernah mendapat surat yang ditujukan kepada Ir Ardi Joanda. Tapi tidak perlu harus menjadi insinyur dulu untuk mengerjakan pembangunan Da Vinci Tower. Intinya kalau mau kita mau belajar pasti bisa. Kalau sekarang saya diminta merancang lima gedung seperti Da Vinci Tower, saya berani. Saya lakukan itu semua tanpa hitung-hitungan karena saya menganggap itu sebagai tempat belajar. Bekerja adalah tempat terbaik untuk belajar, dan dibayar lagi. Kalau kita sekolah, kan harus membayar," ungkap Ardi.

Ardi menyampaikan terima kasih kepada Tony Phua dan Doris Phua, suami istri pemilik Da Vinci asal Singapura, yang memberi kesempatan kepadanya untuk menunjukkan segala kemampuan. "Saya belajar banyak dari Tony dan Doris, serta semua teman di Da Vinci yang memberi dukungan penuh," kata Ardi.

Setelah 13 tahun bergabung dengan Da Vinci, dan terakhir pada posisi sabagai CEO Da Vinci, Ardi memutuskan keluar dengan alasan pribadi. "Saya ingin pindah kuadran, menjadi pengusaha," katanya. Bulan Januari 2006, Ardi merintis usaha es Charmy Ice bersama Lawrence Pan, saudara angkat dari Taiwan.

Mengalami banyak pengalaman dalam hidupnya, Ardi selalu menyampaikan pendapatnya bahwa pengalaman pahit adalah "guru" yang paling manis. "Karena justru pada saat iitulah, kita diberi kesempatan oleh Tuhan untuk mengeluarkan segala kemampuan yang ada. Tapi akan lebih baik jika dalam kondisi baik pun, kita bisa mengeluarkan kemampuan terbaik," kata Ardi.

Menurut Ardi, banyak orang tidak menyadari kemampuan karena terlalu berhitung-hitung. "Banyak orang berpendapat, ngapain saya harus kerja begini, begitu. Padahal setiap hal yang dilakukan, harus dianggap sebagai ujian, sampai sejauh mana kemampuan kita. Begitu diuji, baru tahu kemampuan kita luar biasa sehingga muncul kepercayaan diri," ujarnya.

"Dalam hidup ini sebenarnya kita diberi kesempatan waktu oleh Tuhan untuk memanfaatkan talenta-talenta yang masih terpendam. Karena itu mari kita nikmati hidup, berbagi dan memanfaatkan talenta-talenta yang diberikan Tuhan," ungkap Ardi Joanda. (ROBERT ADHI KSP)

KOMPAS.com, Senin, 7 Desember 2009

Foto-foto hak cipta Robert Adhi Ksp


Fajar Menyingsing di Langit Fukuoka







Fajar Menyingsing di Langit Fukuoka

Mentari pagi secara perlahan muncul di langit Fukuoka, Jepang. Semua foto diambil saat menjelang Sabtu (12/12/09) pagi, dari jendela pesawat Singapore Airlines yang terbang dari Bandara Internasional Changi Singapura selepas Jumat (11/12/09) tengah malam.

Foto pertama diambil ketika sinar mentari masih terlihat samar-samar, sementara foto kedua saat sinar mentari mulai muncul, dan foto ketiga an keempat saat mentari mulai benderang.(Robert Adhi Ksp, dari Fukuoka, Jepang)

KOMPAS.com, Sabtu 12 Desember 2009

Foto-foto hak cipta Robert Adhi Ksp

Terminal 3 Changi, Modern dan Futuristik









Terminal 3 Changi, Modern dan Futuristik

Bandara Internasional Changi di Singapura tetap memikat. Penumpang yang transit berjam-jam, tidak merasa bosan berada dalam bandara itu seharian. Apalagi sejak Januari 2008 lalu, Changi memiliki Terminal 3, terminal baru dengan arsitektur yang unik.

Dibangun dengan dana 1,75 miliar dollar Singapura, bangunan Terminal 3 Bandara Changi seluas 380.000 meter persegi ini didesain oleh CPG Corporation and Skidmore, Owings and Merril LP. Lokasinya persis di seberang Terminal 2. Penumpang dari terminal lain, dapat menggunakan Skytrain yang datang setiap lima menit.

Keunikan Terminal 3 Bandara Changi ini tampak dari atap “kupu-kupu”, di mana cahaya natural yang lembut masuk ke dalam gedung. Desain modern Terminal 3 Bandara Changi ini tampaknya menyesuaikan diri dengan tren desain arsitektur masa kini.

Keunikan lain Terminal 3 Bandara Changi adalah hadirnya sebuah dinding hijau vertikal lima tingkat setinggi 300 meter. The Green Wall ini tampak di ruang kedatangan maupun ruang keberangkatan, serta tempat pengambilan bagasi. The Green Wall ditutup dengan tanaman merambat diselingi dengan empat air terjun.

Penumpang transit dapat menikmati acara-acara TV kabel di sofa yang empuk. Penumpang juga dapat men-charger baterai gadget di tempat khusus yang disediakan. Penumpang yang lelah, dapat mencoba pijat kaki refleksi dari alat yang disediakan Osim. Anak-anak juga tidak kehilangan waktu bermain karena tersedia tempat bermain anak.

Dan yang juga menyenangkan adalah semua kawasan bandara ini area wifi yang dapat diakses secara gratis, setelah penumpang meminta username dan password dengan menunjukkan paspor dan boarding pass.

Dalam konsep layout Terminal 3 Bandara Changi, pusat perbelanjaan transit dan ruang kedatangan didesain sedemikian rupa sehingga menjadi sebuah tempat yang nyaman. Sebagian besar lantai terminal ini dilapisi karpet sehingga kesan elegan sangat terasa. Sebagian lagi dilapisi parquette.

Penggunaan kaca-kaca transparan di dalam gedung Terminal 3 ini memudahkan penumpang menikmati pemandangan dari segala sudut, termasuk ruang belanja dan tempat makan. Penumpang dapat leluasa memilih gerai mana yang akan didatangi. Lebih dari 100 gerai ritel dan 40 tempat makan dan minum dibuka di Terminal 3 ini.

Terminal 3 Bandara Changi boleh berbangga karena banyak gerai baru dan pertama yang dibangun di bandara. Mulai dari Guylian Belgian Chocolate Cafe (pertama dibuka di luar Belgia), gerai ritel perjalanan Ferrari (pertama dibuka di luar kawasan Eropa) dan toko FIFA World pertama di dunia, dan gerai pertama Apple dan Sony yang dibangun di bandara, butik pertama Vertu di bandara di kawasan Asia Tenggara, kabin kecantikan pertama SK-II di bandara, sampai pada gerai Hard Rock Cafe pertama yang dibuka di bandara internasional utama.

Kapasitas 22 juta

Kapasitas Terminal 3 Bandara Changi adalah 22 juta penumpang per tahun, sehingga total kapasitas bandara ini mencapai 70 juta penumpang yang bergerak setiap tahun. Di terminal baru ini, terdapat 28 aerobridge gates, dan delapan di antaranya dirancang untuk menerima pesawat A-380.

Bandara Internasional Changi seluas 13 km persegi ini, berjarak sekitar 17,2 km dari pusat bisnis Singapura. Bandara ini menjadi markas maskapai penerbangan Singapore Airlines, Singapore Airlines Cargo, SilkAir, Tiger Airways, Jetstar Asia Airways, Valuair, dan Jett8 Airlines Cargo. Maskapai Qantas menggunakan Changi sebagai tempat transit utama penerbangan dari Australia ke Eropa.

Changi menjadi markas terbesar bagi sejumlah maskapai penerbangan asing. Pada April 2008, tercatat 4.340 penerbangan mingguan yang dioperasikan 80 maskapai penerbangan yang melayani 130 kota di 59 negara di dunia.

Changi memberi kontribusi penting bagi perekonomian Singapura, karena menyerap 13.000 tenaga kerja.

Pada tahun 2007, Changi mencatat rekor 36.701.556 penumpang, atau naik 4,8 persen dibandingkan tahun sebelumnya. Ini menjadikan Changi masuk sebagai bandara tersibuk ke-19 di dunia, atau kelima di Asia pada tahun 2007.

Changi merupakan salah satu bandara kargo tersibuk di dunia, dengan 1,89 juta ton kargo pada tahun 2007. Sejak dibuka tahun 1981, bandara ini telah memenangkan lebih dari 280 penghargaan dalam kurun waktu 20 tahun (1987-2007) termasuk 19 penghargaan The Best Airport.

Changi terus memperbarui diri, membangun berbagai fasilitas untuk melayani para penumpang, termasuk membangun Terminal 3. Penumpang yang transit dan harus menunggu berjam-jam, mendapat fasilitas wisata kota selama dua jam secara gratis dalam program “Free Singapore Tour”. Jumlah orang dibatasi 12 orang. Penumpang dari berbagai kebangsaan dipandu oleh seorang pemandu wisata.

Beginilah cara Singapura melayani penumpang yang datang dari berbagai belahan dunia. Sebagai negara yang menjual jasa, Singapura berhasil menjadikan Bandara Changi sebagai jendela utama negeri itu. (Robert Adhi Ksp, dari Bandara Internasional Changi Singapura)

KOMPAS.com, Jumat, 11 Desember 2009.

Foto-foto hak cipta Robert Adhi Ksp


Mengapa Membuat Blog (Lagi)?


Mengapa Membuat Blog (Lagi)?

Sebetulnya sejak akhir tahun 2006 lalu, saya sudah memiliki blog. Lalu mengapa saya membuat blog lagi? Saya hanya ingin menuangkan kembali berbagai tulisan saya yang pernah dimuat di Harian Kompas dan juga di website Kompas.com di blog khusus milik saya. Blog ini saya namakan Blog Robert Adhi Ksp dengan alamat http://robertadhiksp.blogspot.com.

Blog ini dibagi dalam berbagai kategori topik, mulai dari masalah perkotaan (banjir, sampah, transportasi, kependudukan, kriminalitas), tren gaya hidup, wisata perjalanan, sampai tulisan tentang properti di Indonesia.

Ini sebetulnya semacam dokumentasi tulisan-tulisan yang pernah saya buat untuk Harian Kompas maupun untuk Kompas.com. Saya menganggap perlu untuk mengumpulkan kembali tulisan-tulisan ini dalam sebuah blog khusus.

Mudah-mudahan isi blog ini bermanfaat bagi para pembaca.



Salam hangat,

Robert Adhi Ksp
Desember 2009